Wednesday, February 21, 2007

Kongres IUNS (International Union of Nutrition Science) ke-33,
Vienna 2001, menyatakan bahwa abad ke-20 adalah the golden age (era keemasan)
untuk perkembangan ilmu gizi, karena sebagian besar penemuan di bidang gizi
terjadi pada abad ini. Ironisnya masalah kekurangan gizi di negara berkembang,
memasuki milenium baru ini, justru menembus level di atas ambang normal.
Fenomena ini jika diaplikasikan di Indonesia, bisa menjadi semacam sindiran
atau skeptisme thdp perkembangan ilmu dan program gizi di Indonesia. Mengapa?
Meskipun ilmu dan program gizi sudah lebih dari setengah abad dikembangkan di
Indonesia (sejak Lembaga Makanan Rakyat tahun 1950-an), tetapi masalah gizi
salah, khususnya gizi kurang, masih tidak juga teratasi dengan tuntas. Yang
menja- di pertanyaan, lalu di mana peran ilmu gizi dan para pakarnya?
Kemajuan ilmu gizi memunculkan perubahan paradigma dalam konsep dan strategi
penanggulangan masalah gizi salah (baik gizi kurang maupun gizi lebih).
Perubahanparadigma ini mengikuti perkembangan ilmu gizi yang menurut Martorell
(2000), pendulumnya bergeser dari aspek kualitas pangan (protein) tahun 1950-an
ke aspekkuantitas (energi) tahun 1970-an, kemudian bergeser lagi ke arah
kualitas di tahun 1990-an. Kali ini tekanannya tidak lagi pada protein, tetapi
pada vitamin dan mineral (zat gizi mikro).
Pergeseran pendulum Martorell ini
didasarkan atas perubahan kebijakan dan program gizi yang seringterjadi sejak
tahun 1950-an. Pergeseran ini diakibatkan perkembangan teori-teori kebutuhan zat
protein yang berbeda-beda.
Mula-mula kebutuhan protein anak usia satu tahun
ditetapkan 3,3 gram per kilogram berat badan. Tahun 1970-an diturunkan menjadi
2,0 sampai akhirnya (sampai sekarang) 1,2 gram per kilogram berat badan per
hari.
Banyak Protein
Perkembangan ilmu gizi yang dapat dikatakan sangat
sederhana tahun 1930-an menumbuhkan adanya mitos di kalangan ahli gizi sampai
tahun 1970-an (bahkan di Indonesia sampai sekarang) bahwa untuk hidup sehat
dengan optimal, badan memerlukan banyak protein. Kelebihan protein dibakar
menjadi energi.